POV Tari.
"Bagaimana, Tar? Apa Morgan akan mentransfer uang lagi ke, kamu?" tanya ibuku.
"Tentu saja, dengan mengandalkan nama mertuaku pasti dengan mudah dong, buat dapetin uang dari mas Morgan," jawabku sembari tersenyum, kembali meneguk minuman yang ada di dalam gelas.
"Coba tanya lagi, apa sudah dikirim oleh Morgan uangnya," ucap ibu.
Dengan semangat aku mengirim pesan lagi kepada mas Morgan, lagian pasti dia sudah mengirim uangnya. Apalagi jika menyangkut tentang ibunya, pasti dia akan secepat mungkin mengirimkan uang yang aku butuhkan.
[Gimana mas, apa uangnya sudah kamu transfer?] Aku mengklik pesan itu lalu mengirimnya pada mas Morgan.
Terlihat centang biru dua di aplikasi chatku, itu berarti mas Morgan sudah membacanya.
[Iya. Ini jaringan sedang susah,] balasnya dan aku hanya mengernyitkan dahi.
"Gimana?" tanya adikku Nasya.
"Belum masuk, katanya jaringan susah."
"Terus gimana dong, tadi kan, kakak janji mau beliin kami sepatu dan baju baru," ucap Reihan cemberut.
"Iya. Tenang aja, pasti dapet kok, asal mengatas namakan mertua kakak itu uang pasti dikirim. Kalian gak usah pikirin, mau tambah makan lagi juga boleh." Aku menepis kegelisahan dengan berpura-pura berpikir positif. Pasalnya sudah satu jam aku menunggu namun mas Morgan tak kunjung memberi kepastian padaku.
[Mas, buruan dong!] Aku memaksanya. Ia hanya membaca pesanku tapi tak dibalas.
[Kenapa gak dibalas, ibumu udah rewel banget, pengen pulang. Sementara aku belum bayar biaya makan di restoran.]
Entah apa yang dilakukan mas Morgan, dari tadi pesanku tak ada mendapat respon. Ia tak membalas namun pesanku ia baca, aku jadi kesal dengan dia.
[Mas, kamu ngapain sih? Kok, cuma di read?] Serasa habis kesabaran ini dibuatnya.
Eh, disaat kegalauanku dia malah menghilang. Aplikasi chatingnya tiba-tiba saja offline, bagaimana ini? sebentar lagi pasti akan ditagih biaya bill oleh pelayan. Aku harus bagaimana? Sementara uangku pas-pasan dan tadi aku menyuruh kedua adikku nambah makan, pasti pembayarannya juga akan bertambah.
"Bagaimana Tar, kita sudah terlalu lama di sini. Ini juga udah malem banget, sebentar lagi restoran ini pasti akan tutup," desak ibu gelisah.
"Kita bayar saja, Bu, aku yakin uangnya sudah dikirim. Mana mungkin mas Morgan membiarkan ibunya begitu saja, pasti dia sudah mengirim uangnya ke rekeningku," ucapku berusha menenangkan ibu.
"Kan, sudah ibu bilang dari bulan-bulan kemarin. Buat mbanking saja biar kamu gampang ngecek uang di ATM kamu, kamu sih, ngulur-ngulur- waktu terus, sampai sekarang gak dibikin-bikin. Sekarang keadaan mendesak seperti ini kamu malah gak tau uang buat keperluan udah ditransfer oleh Morgan atau enggak," cetus ibu mengomel.
Bisanya hanya mengomel saja, sementara kepalaku pusing memikirkan bagaimana cara membayar makanan yang sudah di lahap habis sedari tadi.
"Sudahlah, ibu tenang saja. Aku akan ke kasir dan membayar semua makanan ini, aku yakin mas Morgan pasti sudah mentransfer uangnya. Pokoknya ibu gak usah khawatir, malam ini kita akan tidur nyenyak di hotel," ucapku dengan bangga. Lalu menuju kasir dan menyerahkan kartu ATMku untuk membayar semua makanan yang tadi kami makan.
"Maaf kak, saldonya di tolak dan pembayaran masih kurang tiga ratus ribu untuk membayar semua makanan yang kakak pesan tadi." Aku membelalak saat mbak kasir bilang seperti itu.
"A-apa? Bukannya uang di ATM itu isinya sepuluh juta lebih. Yang benar saja uangnya kurang?" tanyaku, aku melirik pada ibu dan kedua adikku yang masih duduk di meja makan sembari menungguku melakukan pembayaran via debit.
"Ada masalah apa?" tanya Ibu.
Aku tertegun sembari menggigit bibir bawah, perlahan mendekati ibu dan berbisik.
"Bu, uangnya kurang tiga ratus ribu. Apa ibu punya uang?" tanyaku.
"Gak adalah, kan, ibu juga numpang makan dan tinggal sama kamu. Kalau gak ngandelin kamu darimana ibu dapat uang," ujar ibu. Ah, memang tak ada yang bisa membantu sepertinya.
"Kalau kalian berdua?" tanyaku.
"Kakak kan tahu sendiri, kalau kami ini masih anak sekolahan. Ya, mana ada pegang uang, apalagi kami gak kerja," sahut Nasya.
"Iya. Bukannya suami kakak manager di perusahaan cabang yang berada di luar negeri, masa uang segitu aja gak punya," timpal Reihan.
"Heh, kalau uangnya masuk gak mungkin aku gelagapan kayak begini!" cetusku.
"Jadi bagaimana, kak? Sisa pembayarannya apa bisa di lunasi?" tanya mbak kasir.
"Emm ... Mbak, saya titip KTP aja, ya. Kalau sudah ada uangnya pasti akan saya bayar nanti," ucapku bernegosiasi.
"Tidak bisa kak, kalau kakak tidak mampu membayar. Terpaksa kakak harus membantu untuk membereskan restoran," ucap si mbak kasir.
"Heh! Kamu mau menghina saya?" tanyaku.
"Daripada kakak gak bisa pulang," sahutnya.
"Ya, terus saya harus ngapain?" tanyaku.
Si mbak kasir tersenyum, lalu membawa kami ke dapur restoran. Di sana menumpuk piring-piring kotor yang penuh dengan minyak, dan sambal.
"M-maksudnya kami harus mencuci piring sebanyak ini?" tanyaku.
Mbak kasir mengangguk lalu tersenyum dan setelah itu dia pergi. Sia-lan memang, kenapa Morgan mengabaikan pesanku dan tidak mengirimiku uang. Awas saja, aku akan bilang kalau ibunya pingsan karena kelelahan mencuci piring di restoran bersamaku, dan semua itu gara-gara dia yang tidak mengirim uang kepada kami. Awas saja, pasti dia akan merasa bersalah nanti.
"Gayanya selangit, makan di restoran pengen mewah. Ujung-ujungnya nyuci piring karena gak mampu bayar," celetuk dua karyawati yang juga berada di dapur ini.
"Iya. Kebanyakan makan gengsi sih, gak papa capek yang penting story Hedon ye, gak?" Mereka terkekeh, membuatku terpancing emosi. Aku melempar spons piring yang penuh busa ke wajah mereka.
"Heh! Kamu gak tau ya, kalau saya ini istri seorang manager yang bekerja di luar negri. Baru jadi pelayan aja belagu banget, lihat saja, akan saya buat kalian berdua di pecat!" Ancamku.
Salah satu dari mereka geram, saat terkena lemparan spons yang kulayangkan ke wajahnya. Dadanya kembang kempis menahan amarah padaku.
"Kamu jangan kurang ajar, ya? Kamu makan nasi saya makan nasi, jadi saya gak takut." Ia mendatangiku dan langsung menjambak rambutku, di situ kami berkelahi sambil jambak-jambakan. Alhasil, tidak ada yang menang malah bajuku dan bajunya yang hampir sobek karena saling tarik menarik.
Perkelahian kami berhasil dilerai oleh dua scurity penjaga restoran ini. Lalu, kami berempat diseret ke pintu luar dan di lempar begitu saja dari pintu restoran tanpa hormat oleh dua scurity tersebut.
"Pergi kalian dari sini, sebelum saya laporkan ke polisi." Heh! Betapa memalukannya kejadian ini, baru kali ini aku diusir dari sebuah restoran oleh scurity seperti ini. Arhg ... Semua ini gara-gara Morgan, kenapa dia tidak membalas pesanku.
_______
Cerita ini tamat di KBM app. Cari dengan judul yang sama atau akun dengan username NiaAldina120599. Banyak juga cerita tamat lainnya yang hanya tamat di bab 20 saja.